Selasa, 25 Januari 2011

MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Ada berbagai pendapat tentang bebagai macam dari model untuk membuat suatu
keputusan. Berbagai pendapat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. E.S. Quade
Menurut pendapat ini model dapat diklasifikasikan menjadi model kualitatif dan
model kuantitatif.
a.   Model kualitatif 
Model ini didasarkan atas asumsi-asumsi yang tingkat ketepatannya masih
kurang dibandingkan dengan model kuantitatif, karena model ini dibuat berdasarkan
pertimbangkan subjek pengambil keputusan. Model ini lebih tepat apabila digunakan
untuk mengatasi masalah-masalah sosial. Karena setiap orang mempunyai
kemampuan dan daya nalar tersendiri terhadap setiap persoalan yang dihadapi.
b.   Model kuantitatif
Merupakan serangkaian asumsi yang tepat, dinyatakan dalam serangkaian
hubungan matematis yang pasti. Model ini dapat berupa persamaan atau analisis
lainnya, atau merupakan instruksi bagi komputer yang berupa program-program. Ciri-
ciri pokok model ini adalah ditetapkan secara  lengkap melalui asumsi-asumsi, dan
kesimpulannya berupa konsekuensi logis dari asumsi-asumsi tanpa menggunakan
menggunakan pertimbangan intuisi tentang praktik dunia nyata.

2. Herbert G. Hicks dan c. Ry Gullet
Mereka berdua membedakan model-model keputusan ke dalam model
probabilitas dan model matriks. 

a.   Model Probabilitas 
Model ini membahas tentang kemungkinan yang terjadi pada masa yang
akan datang terhadap suatu peristiwa tertentu, dan nilai harapan atas terjadinya
peristiwa tersebut. Nilai dari sesuatu yang diharapkan pada setiap peristiwa adalah
kemungkinan terjadinya peristiwa dikalikan dengan kondisional.
b.   Model Matriks
Penerapan model matriks ini dimaksudkan untuk menyajikan secara
khusus kombinasi antara berbagai strategi atau beberapa alternatif yang digunakan
dan nilai atau hasil yang di harapkan pada masing - masing strategi atau alternatif
model ini terdiri atas dua hal pokok yaitu garis yang menggambarkan berbagai
strategi atau alternatif di pakai sebagai dasar pengambilan keptususan, dan lajur yang
menggambarkan kondisi dam situasi yang berlainan pada masing - masing alternatif
strategi.  

3. B.A. Fisher
Menurut pendapat ini, model dalam pengambilan keputusan dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu :
a.   Model Preskiptif
Model yang menerangkan bagaimana kelompok seharusnya mengambil
keputusan dengan cara memberikan pedoman dasar, agenda, jadwal dan urut-urutan
yang membantu kelompok mencapai consensus. Model ini disebtu jugasebagai model
normatif.
Penerapan model preskiptif atau model normatif meliputi lima langkah, yaitu :
o Orientasi, yaitu menentukan bagaimana situasi yang dihadapi.
o Evaluasi, yaitu menentukan sikap yang perlu diambil.
o Pengawasan, yaitu menentukan apa yang harus dilakukan untuk menghadapi
situasi tersebut.
o Pengambilan keputusan, yaitu menentukan pilihan atas berbagai alternatif yang
telah dievaluasi.
o Pengendalian, yaitu melakukan pengawasan terhadap pelaksannan hasil keputusan.
  
b.   Model Deskriptif
Model yang menerangkan bagaimana kelompok mengambil keputusan.
Model ini juga menerangkan (menggambarkan) segala sesuatu sebagaimana apa
adanya. Model ini juga memberikan kepada manajer informasi yang mereka butuhkan
untuk membuat keputusan-keputusan, dan tidak menawarkan penyelesaian masalah.
Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Model Keputusan
Pengambilan keputusan merupakam proses interaksi antara input-input sebagai
bahan dsar pembentukan suatu model keputusan, yang terdiri atas tujuan organisasi,
kendala-kendala intern,kriteria pelaksanaan dan berbagai alternatif pemecahan
masalaah. Imteraksi tersebut diharapkan akan menghaslkan output yang baik yang
berupa pelaksanaan keputusan,pengendalian, dan umpan baliknya.
Pengambilan keputusan baik keputusan pribadi maupun keputusan kelompok
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 
1.   keadaan lingkungan dn nilai-nilai yang kerap kali bertentangan 
2.   pengaruh politik
3.   emosionalisme
4.   tingkat pendidikan
5.   model keputusam faktual.
Lima faktor tersebut akan berpengaruh terhadap pembentukan suatu model
keputusan

sumber :file.upi.edu/ai.php?...MODEL%20PENGAMBILAN%20KEPUTUSAN... 

Perubahan dan perkembangan Organisasi.


Pengertian Perkembangan Organisasi
Ada beberapa pengertian tentang Perkembangan Organisasi, diantaranya :
a. Strategi untuk merubah nilai-nilai daripada manusia dan juga struktur organisasi sehingga organisasi itu dapat beradaptasi dengan dengan lingkungannya.
b. Suatu penyempurnaan yang terencana dalam fungsi menyeluruh (nilai dan struktur) suatu organisasi.
c. PO merupakan suatu proses yang meliputi serangkaian perencanaan perubahan yang sistematis yang dilakukan secara terus-menerus oleh suatu organisasi.
d. PO merupakan suatu pendekatan situasional atau kontingensi untuk meningkatkan efektifitas organisasi
e. PO lebih menekankan pada system sebagai sasaran perubahan.
f. PO meliputi perubahan yang sengaja direncanakan
Dari beberapa pengertian diatas,dapat kita simpulkan bahwa Pengembangan Organisasi merupakan program yang berusaha meningkatkan efektivitas keorganisasian dengan mengintegrasikan keinginan bersama akan pertumbuhan dan perkembangan dengan tujuan keorganisasian. Pengembangan organisasi (PO) sebagai suatu disiplin perubahan perencanaan yang menekankan pada penerapan ilmu pengetahuan dan praktek keperilakuan untuk membantu organisasi-organisasi mencapai efektivitas yang lebih besar. Para manajer dan staf ahli harus bekerja dengan dan melalui orang-orang untuk melaksanakan tugas-tugas mereka dan PO dapat membantu mereka membentuk hubungan yang efektif di antara mereka. Di dalam menghadapi akselerasi perubahan yang semakin cepat, PO diperlukan untuk bisa mengatasi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan tersebut.

Pengembangan organisasi mengukur prestasi suatu organisasi dari segi efisiensi, efektifitas dan kesehatan :
1. Efisien dapat diukur dengan perbandingan antara masukan dan keluaran, yang mengacu pada konsep Minimaks (Masukan minimum dan keluaran maksimum).
2. Efektifitas adalah suatu tingkat prestasi organisasi dalam mencapai tujuannya artinya kesejahteraan tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai
3. Kesehatan organisasi adalah suatu fungsi dari sifat dan mutu hubungan antara para individu dan organisasi yaitu hubungan yang dinamis dan adaptabilitas

Sifat-sifat dasar Pengembangan Organisasi
Sifat-sifat dasar dari Suatu Perkembangan Organisasi adalah Sebagai Berikut :
1. PO merupakan suatu strategi terencana dalam mewujudkan perubahan organisasional, perubahan yang dimaksud harus mempunyai sasaran yang jelas dan didasarkan pada suatu diagnosis yang tepat mengenai permasalahan yang dihadapi oleh organisasi.
2. PO harus berupa kolaborasi antara berbagai pihak yang akan mengalami dampak perubahan yang akan terjadi, keterlibatan dan partisipasi para anggota organisasi harus mendapat perhatian.
3. Program PO menekankan cara-cara baru yang diperlukan guna meningkatkan kinerja seluruh anggota organisasi
4. PO mengandung nilai-nilai humanistic dalam arti bahwa dalam meningkatkan efektifitas organisasi, potensi manusia harus menjadi bagian yang penting
5. PO menggunakan pendekatan kesisteman yang berarti selalu memperhitungkan pentingnya inter relasi, interaksi dan inter dependensi
6. PO menggunakan pendekatan ilmiah untuk mencapai efektivitas organisasi

Nilai-nilai dalam Pengembangan Organisasi
Nilai-nilai yang terkandung dari Perkembangan Organisasi Ini adalah :
1. Penghargaan akan orang lain
2. Percaya dan mendukung orang lain, sedangkan individu sendiri harus mempunyai tanggung jawab.
3. Pengamanan kekuasaan (mengurangi tekanan pada wewenang).
4. Konfrontasi (masalah yang tidak disembunyikan).
5. Partisipasi (melibatkan orang-orang yang mempunyai potensi dalam proses pengembangan organisasi).

Akibat Serta Pengaruh Perkembangan Organisasi
Akibat serta Pengaruh didalam PO terjadi pada nilai, proses dan teknologi.
a. Geseran / perubahan nilai yang dibawa PO diantaranya adalah:
  • Penggunaan seluruh sumber-sumber yang tersedia.
  • Pengembangan potensi manusia.
  • Efektivitas dan kesehatan organisasi.
  • Pekerjaan yang menarik dan menantang.
  • Kesempatan untuk mempengaruhi lingkungan kerja.
b. Perkembangan Organisasi Berpengaruh Kepada proses yang meliputi:
  • Proses efektif
  • Proses manajemen
  • Proses pelaksanaan kerja
  • Perubahan teknologi, karena yang diutamakan adalah teknologi yang bisa menjawab kualifikasi posisi manusia.
Para Pelaku Pengembangan Organisasi
Pengembangan organisasi (PO) diterapkan kepada tiga jenis manusia: spesialisasi individu di dalam PO sebagai profesi, orang-orang dari lapangan yang terkait, yang telah mencapai sejumlah kompetensi di dalam PO, dan para manajer yang memiliki keahlian PO yang diperlukan untuk perubahan dan mengembangkan organisasi atau departemen mereka.
Peranan profesional PO pun dapat diterapkan terhadap konsultan internal, yang memiliki organisasi yang sedang mengalami perubahan, dan terhadap konsultan eksternal yang menjadi anggota universitas dan perusahaan konsultan atau bekerja sendiri, serta terhadap anggota tim konsultan internal-eksternal. Peranan PO akan dideskripsikan secara tepat didalam istilah marjinalitas. Orang-orang yang berorientasi pada marjinalitas nampak khususnya beradaptasi untuk peran PO, karena mereka dapat menjaga kenetralan dan objektivitas serta mengembangkan solusi yang integratif yang mengakurkan titik pandang antara departemen-departemen oposisi. Sementara peranan PO di masa lalu telah dideskripsikan sebagai ujung klien dari suatu kontinum mulai dari fungsi clien-centered kepada consultant-centered. Pengembangan intervensi baru dan beraneka ragam telah menggeser peranan profesional PO meliputi keseluruhan rentang dari kontinum tersebut.
Walaupun masih menjadi suatu kemunculan profesi, sebagian besar profesional PO memiliki pelatihan khusus didalam PO, terbentang dari kursus-kursus jangka pendek dan workshop-workshop, serta pendidikan master dan doktor. Tidak ada jalur karir tunggal, namun demikian konsultan internal sering digunakan sebagai batu loncatan untuk menjadi konsultan eksternal.
Nilai telah memainkan peran kunci di dalam PO, dan nilai-nilai tradisional mendukung kepercayaan, kerja sama, dan kejujuran yang pada akhir-akhir ini telah dilengkapi dengan nilai-nilai keefektifan dan produktivitas organisasional. Spesialis PO akan menghadapi dilema nilai dalam rangka mencoba untuk bekerja sama mengoptimalkan keuntungan sumber daya manusia dan kinerja organisasi. Mereka juga akan menjumpai konflik nilai ketika berhadapan dengan pemangku Kepentingan eksternal yang penuh kekuatan, seperti pemerintah, pemegang saham, dan pelanggan. Berhadapan dengan kelompok dari luar tersebut akan memerlukan keahlian politik, begitu juga keahlian sosial tradisional yang lebih baik.
Issue-issue yang berkaitan dengan etika di dalam PO melibatkan bagaimana para praktisi melaksanakan peran bantuan mereka dengan klien. PO senantiasa menunjukkan perhatiannya terhadap pelaksanaan yang berkaitan dengan etika para praktisi, dan pada akhir-akhir ini sebuah kode yang berkaitan dengan etika untuk praktek PO telah dikembangkan oleh berbagai macam asosiasi profesional di dalam PO. Issu-issu yang berkaitan dengan etika di dalam PO cenderung untuk muncul di sekitar issue-issue berikut ini: pemilihan intervensi, menggunakan informasi, menahan servis, ketergantungan klien, pemilihan partisipasi, dan memanipulasi klien.

Sejarah Pengembangan Organisasi
Sejarah Pengembangan Organisasi sangat erat hubungannya dengan teori organisasi. Teori Organisasi meliputi teori organisasi klasik, teori organisasi neoklasik, dan teori organisasi modern.
Teori Organisasi Klasik
Teori klasik (classical theory) kadang-kadang disebut juga teori tradisional yang berisi konsep-konsep tentang organisasi mulai tahun 1800( abad 18).
Dalam teori ini, organisasi secar umum digambarkan oleh para teoritisi klasik sebagai organisasi yang sangat tersentralisasi dan tugas-tugasnya terspesialisasi, serta memberikan petunjuk mekanistik structural yang kaku dan tidak mengandung kreatifitas. Dalam teori ini organisasi didefinisikan sebagai struktur hubungan, kekuasaan-kekuasaan, tujuan-tujuan, peranan-peranan, kegiatan-kegiatan, komunikasi dan faktor-faktor lain bila orang-orang bekerja sama.
Teori Klasik berkembang dalam 3 aliran yaitu: teori birokrasi, teori administrasi, dan manajemen ilmiah.


Teori Birokrasi
Teori ini dikemukakan oleh Max Weber dalam bukunya “The Protestant Ethic dan Spirit of Capitalism”.
Karakteristik-karakteristik birokrasi menurut Max Weber:
  1. Pembagian Kerja yang jelas.
  2. Hirarki wewenang yang dirumuskan secara baik
  3. Program rasional dalam mencapai tujuan organisasi
  4. Sistem prosedur bagi penanganan situasi kerja
  5. Sistem aturan yang mencakup Hak dan Kewajiban posisi para pemegang jabatan
Teori Administrasi
  1. Hubungan antar pribadi yang bersifat impersonal.
Teori ini sebagian besar dikembangkan atas dasar sumbangan Henri Fayol dan Lyndall Urwick dari Eropa serta Mooney dan Reiley dari Amerika.
Henri Fayol mengemukakan dan mambahas 14 kaidah manajemen yang menjadi dasar perkembangan teori ini yaitu:
  • Pembagian Kerja / Division of Work
  • Wewenang dan Tanggung jawab
  • Disiplin
  • Kesatuan perintah
  • Kesatuan pengarahan
  • Mendahulukan kepentingan umum dari pada pribadi
  • Balas jasa
  • Sentralisasi
  • Rantai scalar
  • Aturan
  • Keadilan
  • Kelanggengan personalia
  • Inisiatif
  • Semangat korps
Manajemen Ilmiah
Manajemen Ilmiah dikembangkan oleh Frederick Winslow Taylor tahun 1900. Ada beberapa pendapat tentang manajemen ilmiah, salah satunya adalah mengatakan manajemen ilmiah merupakan penerapan metode ilmiah pada studi, analisa, dan pemecahan masalah-masalah organisasi.
Taylor mengemukakan empat kaidah dasar manajemen yang harus dilaksanakan dalam organisasi perusahaan, yaitu:
  • Menggantikan metoda-metoda kerja dalam praktek dengan berbagai metoda yang dikembangkan atas dasar ilmu pengetahuan tentang kerja yang ilmiah dan benar.
  • Mengadakan seleksi, latihan-latihan dan pengembangan para karyawan secara ilmiah.
  • Pengembangan ilmu kerja serta seleksi, latihan dan pengembangan secara ilmiah harus diintegrasikan.
  • Untuk mecapai manfaat manajemen ilmiah, perlu dikembangkan semangat dan mental para karyawan.
Teori organisasi klasik sepenuhnya hanya menguraikan anatomi organisasi formal. Dalam organisasi formal ada empat unsure pokok yang selalu muncul, yaitu:
  • System Kegiatan yang terkoordinasi
  • Kelompok orang
  • Kerjasama
  • Kekuasaan dan kepemimpinan
Menurut para pengikut aliran teori klasik, adanya suatu organisasi formal sangat tergantung pada empat kondisi pokok, yaitu:
  • Kekuasaan
  • Saling melayani
  • Doktrin
  • Disiplin
Teori Organisasi Neoklasik
Teori Neoklasik secara sederhana dikenal sebagai aliran hubungan manusiawi(The Human Relation Movement). Teori neoklasik dikembangkan atas dasar teori klasik. Dasar teori ini adalah menekankan pentingnya aspek psikologis dan social karyawan sebagai individu maupun sebagai bagian kelompok kerjanya. Perkembangan teori neoklasik dimulai dengan inspirasi percobaan-percobaan yang dilakukan di Howthorne dan dari tulisan Huga Munsterberg.
Percobaan-percobaan ini dilakukan dari tahun 1924 sampai 1932 yang menandai permulaan perkembangan teori hubungan manusiawi dan merupakan kristalisasi teori neoklasik. Pada akhirnya percobaan Howthorne menunjukkan bagaimana kegiatan kelompok-kelompok kerja kohesif sangat berpengaruh pada operasi organisasi.
Dalam hal pembagian kerja, teori neoklasik mengemukakan perlunya hal-hal sebagai berikut:
  • Partisipai
  • Perluasan kerja
  • Manajemen bottom-up
Teori Organisasi Modern
Teori modern biasanya disebut juga sebagai analisa sistem pada organisasi. Teori modern melihat bahwa semua unsur organisasi sebagai satu kesatuan dan saling ketergantungan, yang di dalamnya mengemukakan bahwa organisasi bukanlah suatu sistem tertutup yang berkaitan dengan lingkungan yang stabil, akan tetapi organisasi merupakan sistem terbuka.
Teori modern dikembangkan tahun 1950, dalam banyak hal yang mendalam teori modern dengan klasik berbeda, perbedaan tersebut diantaranya:
  • Teori Klasik memusatkan pandangannya pada analisa dan deskripsi organisasi, membicarakan konsep koordinasi, scalar dan vertikal.
  • Teori Modern menekankan pada perpaduan dan perancangan menjadikan pemenuhan suatu kebutuhan yang menyeluruh, lebih dinamis dan lebih banyak variabel yang dipertimbangkan.
Teori Modern menunjukkan tiga kegiatan proses hubungan universal yang selalu muncul pada sistem manusia dalam perilakunya berorganisasi, yaitu:
  • Komunikasi
  • Konsep keseimbangan
  • Proses pengambilan keputusan
Tujuan Perkembangan Organisasi ;
  1. Menciptakan keharmonisan hubungan kejra antara pimpinan dengan staf anggota
organisasi.
2. Menciptakan kemampuan memecahkan persoalan organisasi secara lebih terbuka
3. Menciptakan keterbukaan dalam berkomunikasi.
4. Merupakan semangat kerja para anggota organisasi dan kemampuan
mengendalikan diri.

Karakteristik Pengembangan Organisasi
Karakteristik organisasi adalah perilaku dan tingkah laku suatu badan/institusi terhadap kondisi yang ada diluar institusi itu maupun didalam institusi itu sendiri, artinya dalam dunia bisnisnya selalu fokus kepada pelanggannya yang bukan hanya dari luar perusahaan itu tapi juga orang-orang di dalam perusahaan yang merupakan aset perusahaan itu sendiri. (Maksudnya Masih jarang sebuah institusi itu menganggap karyawannya berpotensi untuk jadi aset dan akhirnya kurang mendapat perhatian dari perusahan itu sendiri), jadi semua mengarah kepada mutu yg ditentukan oleh 2 hal seperti yg tertulis sebelumnya.
Kerakteristik Organisasi yang efektiv adalah ;
- Concern terhadap SDM dan memperlakukan SDM sebagai Asset yang berharga
- Program Training dan Pengambangan terbuka seluas-luasnya
- Program kompensasi terlaksana dengan baik
- Tingkat perputaran SDM rendah
- Top manajemen mempunyai komitmen dan mendukung terhadap perkembangan SDM
- Semua Team turut berpartisipasi dalam membuat kebijakan organisasi
Secara umum karakteristik pengembangan organisasi :
  1. Keputusan yang penuh pertimbangan maksudnya adalah suatu hasil yang diperoleh berdasarkan strategi yang telah direncanakan dalam rangka mewujudkan perubahan organisasional yang memiliki sasaran jelas berdasarkan diagnosa yang tepat tentang permasalahan yang dihadapi oleh organisasi.
  2. Diterapkan pada semua sub-sistem manusia baik individu, kelompok, dan organisasi maksudnya adalah menerapkan cara-cara baru yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja seluruh organisasi dan semua satuan kerja dalam organisasi.
  3. Menerima intervensi baik dari luar maupun dalam organisasi yang mempunyai kedudukan di luar mekanisme organisasimaksudnya adalah menerima segala bentuk campur tangan misalnya dalam bentuk pendapat, baik dari anggota yang termasuk dalam sebuah organisasi atau berbagai pihak dari luar organisasi.
  4. Kolaborasi maksudnya adalah kerjasama antara berbagai pihak yang akan terkena dampak perubahan yang akan terjadi.
  5. Teori sebagai alat analisis maksudnya adalah menggunakan pengertian yang disebutkan secara tertulis lalu diterapkan sebagai alat analisis untuk mendapatkan suatu hasil yang memuaskan dari suatu pengembangan organisasi.
  6. Mengutamakan potensi manusia maksudnya adalah mengandung nilai humanistik dimana pengembangan potensi manusia menjadi bagian terpenting.
  7. Interaksi dan Interpendensi maksudnya adalah menggunakan pendekatan komitmen sehingga selalu memperhitungkan pentingnya interaksi, interaksi dan interdependensi antara berbagai satuan kerja sebagai bagian integral di suasana yang utuh.
  8. Pendekatan Ilmiah maksudnya adalah menggunakan pendekatan ilmiah dalam upaya meningkatkan efektivitas organisasi.
Organisasi Masa Depan
Dalam abad duapuluh satu ini setiap organisasi akan dan harus menghadapi persaingan yang semakin kompleks dan menantang, baik persaingan aktual maupun potensial, yang aktual harus dihadapi dan yang potensial perlu diantisipasi. Dalam menghadapi semua itu terdapat dua pendekatan yang mungkin diambil oleh suatu organisasi yaitu :
1) Pendekatan yang berbasis sumberdaya tangible, dan
2) Pendekatan yang berbasis Sumberdaya manusia (intangible).
Organisasi yang menganggap bahwa persaingan hanya bersifat fisik pendekatan pertama yang akan diambil, organisasi hanya berputar-putar dalam masalah yang nyata, karena memang inilah yang paling bisa dilihat dan ditunjukan, namun bagi yang melihat persaingan ke depan lebih mengarah pada persaingan pengetahuan, tanpa mengabaikan hal fisik, maka pengembangan SDM akan menjadi prioritas, dan ini perlu komitmen yang kuat karena time-response dari cara ini lama dan susah dilihat apalagi ditunjukan, namun pendekatan ini sebenarnya akan sangat dirasakan dalam menyehatkan dan mengembangkan suatu Organisasi menjadi organisasi pembelajar (learning organization).
Para Pakar berpendapat bahwa dalam era dewasa ini pandangan yang berbasis SDM nampaknya lebih penting, mengingat persaingan yang terjadi justru ditentukan oleh bagaimana sumberdaya manusia tersebut berperan dan berkreasi bagi kemajuan organisasi, dan dalam konteks ini pendidikan menjadi salah satu faktor penting dalam meningkatkan kemampuannya. Sumberdaya manusia / Human Capital merupakan sumberdaya strategis, bertambah secara inkremental bukan alokatif, karena merupakan sumberdaya yang berbasis pengetahuan (knowledge based resources) yakni sumberdaya yang mencakup keterampilan, kemampuan, kapasitas serta kapabilitas pembelajaran. Kapasitas dan kapabilitas tersebut pada gilirannya akan dapat memupuk sumberdaya sosial yang juga amat diperlukan dalam bentuk jaringan kerja baik internal maupun dengan pihak eksternal organisasi, ini berarti networking juga menjadi hal yang penting dalam memenangkan persaingan. Pengembangan Sumberdaya manusia merupakan prasyarat bagi pengembangan organisasi, artinya tanpa hal itu orang bisa punya alasan untuk meyakini kecilnya kemungkinan organisasi untuk tetap hidup dan bertahan dalam era kompetisi.
Sebuah organisasi pada hakekatnya dibangun oleh sekumpulan orang-orang dengan tujuan bersama, bukan tujuan yang sama. Organisasi, seperti dikatakan Mintzberg merupakan sekumpulan otoritas dan fungsi-fungsi. Disebut juga dengan changes of commands.Diilustrasikan dengan perumpamaan organisasi adalah sebuah kano atau perahu yang sedang dilombakan. Sebuah kano dan orang-orang di dalamnya adalah tak lain diibaratkan organisasi. Dengan tujuan bersama; menang perlombaan. Koordinasi antara tangan kiri-kanan pada orang-orang di dalam kano atau atlet, adalah sesuatu yang krusial. Diperlukan harmonisasi untuk mencapai kemenangan. Dan harmonisasi itu dicapai melalui suara genderang. Suara genderang merupakan sebuah komando bersama. Dengan suara genderang pula tercipta distribution of power dan balancing of power. Begitu pula dengan jenis perahu yang lebih besar. Misalnya kapal Titanic yang tenggelam dan ditengarai bahwa itu merupakan hasil keteledoran sedetik oleh seorang awak kapal yang bertugas mengamati adanya gunung es. Kapal Titanic sudah tidak dikomandani oleh penabuh genderang, karena begitu besarnya kapal dan banyaknya orang. Sudah ada kapten kapal dan segala piranti teknologi canggih sebagai garis komando kapal. Sehingga jika terjadi suatu tanda kerusakan alat, maka garis komando akan berjalan sebagaimana mestinya. Seorang awak kapal yang mengetahui hal tersebut akan menyampaikannya kepada pimpinannya, dan seterusnya hingga sampai ke telinga Kapten kapal. Ada informasi yang memang harus cepat disampaikan, tetapi ada pula informasi yang juga tidak perlu diketahu sampai Kapten kapal karena bisa diselesaikan sendiri. Begitulah pengibaratan sebuah organisasi. Diisi dengan berbagai macam orang dengan kondisi yang bermacam-macam, dan rantai komando yang beragam pula. Katakanlah di sebuah perusahaan manufaktur, maka yang menjadi koordinasi atau penabuh genderang adalah schedulling atau penjadwalan. Semua lini harus mematuhi jadwal yang telah dibuat.
Dalam organisasi (baik organisasi perusahaan maupun nonperusahaan) yang dipentingkan ketika pertama kali berdiri adalah arahannya. Mau kemana orang-orang yang di dalam organisasi itu. Dengan kata lain apa tujuannya. Jika dalam horizon waktu yang lebih lama, apa visinya. Jadi, bukan penekanan pada organisasi seperti apa yang akan dibangun pertama kali.
Menarik sekali konsep yang dikemukakan oleh seorang Jerman H. J. Warnecke. Dia adalah pengarang buku dalam jenis Automation Production Management. Diterbitkan pada tahun 1993 oleh penerbit Springer-Verlag (Berlin, New York). Judulnya adalah The Fractal Company; a revolution in corporate culture.Buku yang terbilang langka di Indonesia ini salah satunya membahas mengenai organisasi. Dituliskan di buku tersebut bahwa sebuah organisasi dapat dianalogikan tersusun atas partikel-partikel tertentu yang menpunyai wujud yang sama dengan organisasi yang bersangkutan. Misalnya dalam sebuah organisasi Lab Kampus, maka asisten sebagai penyusun terkecil Lab sudah bisa dikatakan mencerminkan seperti apa Lab. Asisten sudah bisa menjadi cerminan seperti apa Lab tersebut dan mau kemana arahannya.
Konsep organisasi masa depan:
  1. Lean Organisasi
Tren ke masa depan di dalam pengelolaan organisasi salah satunya adalah adanya konsep Lean organisasi. Jika memasuki era milenium banyak sekali konsep lean di dunia manufaktur, maka sekarang sudah banyak juga yang membahas mengenai konsep lean organization.Konsep dasar lean adalah suatu upaya terus-menerus untuk menghilangkan pemborosan dan meningkatkan nilai tambah. Konsep ini berdasarkan pada minimasi penggunaan sumber-sumber daya (termasuk waktu) dalam berbagai aktifitas perusahaan melalui upaya perbaikan terus-menerus yang berfokus pada identifikasi dan eliminasi aktifitas-aktifitas yang tidak bernilai tambah dalam desain, produksi atau operasi dan management yang berkaitan langsung dengan pelanggan. Dasar filosofisnya hampir sama dengan lean manufacturing.Yakni mengacu pada efisiensi dan efektivitas pengelolaan organisasian. Hemat dan cermat. Katakanlah tingkat koordinasi dalam sebuah organisasi yang memerlukan banyak middle management, maka jika sekiranya malah membebani informasi yang akan disampaikan ke atas, posisi middle management dapat dihapus perlahan.
  1. Virtual Organisasi
Konsep lain yang menjadi ideologi organisasi di masa depan adalah organisasi virtual. Tantangan dunia di masa depan mengarah ke hal tersebut. Yakni dunia maya yang penuh komunitas industri (cyberspace industrial community). Virtual tidak sama dengan fatamorgana. Jika virtual adalah sesuatu yang tidak berbentuk (Organisasi tidak berbentuk / OTB) dan menghasilkan sebuah kegunaan. Sedangkan fatamorgana adalah sesuatu yang tidak berbentuk tetapi tidak nyata. Salah satu contoh yang sudah ada dalam konsep organisasi virtual adalah situs rajapresentasi dot kom. Situs penyedia presentasi dari buku-buku referensi sesuai keinginan pelanggan. Di situ hanya ada satu bagian saja yang merangkap sebagai pemasaran, administrator, penerjemah, sekaligus direktur. Dan bisa dikatakan organisasi rajapresentasi tanpa kantor nyata. Sehingga virtual tetapi hasil nyatanya ada. Presentasi dari buku-buku referensi yang kebanyakan berbahasa Inggris dan bisa dikebut digarap 2 x 24 jam.
  1. Plug and Play
Apa yang akan terjadi di masa yang lebih mendatang lagi, dengan berbagai macam teknologi komunikasi dan informasi? Jawabannya adalah organisasi yang bersifat Plug and play. Organisasi bisa mengarah kepada komunitas maya. Dan organisasi tersebut bisa dibilang sangat ringan, sehingga ke depan, banyak organisasi induk yang punya anak cabang bermacam-macam organisasi kecil yang menempel. Jika setelah selesai fungsinya, organanisasi dapat bubar. Dan dalam waktu singkat pula dapat mengumpul lagi untuk menjalankan sebuah fungsi.

BUDAYA ORGANISASI
Sebagian para ahli seperti Stephen P. Robbins, Gary Dessler (1992) dalam bukunya yang berjudul “Organizational Theory” (1990), memasukan budaya organisasi kedalam teori organisasi. Sementara Budaya perusahaan merupakan aplikasi dari budaya organisasi dan apabila diterapkan dilingkungan manajemen akan melahirkan budaya manajemen. Budaya organisasi dengan budaya perusahan sering disalingtukarkan sehingga terkadang dianggap sama, padahal berbeda dalam penerapannya.
Kita tinjau Pengertian budaya itu sendiri menurut : “The International Encyclopedia of the Social Science” (1972) dpat dilihat menurut dua pendekatan yaitu pendekatan proses (process-pattern theory, culture pattern as basic) didukung oleh Franz Boas (1858-1942) dan Alfred Louis Kroeber (1876-1960). Bisa juga melalui pendekatan structural-fungsional (structural-functional theory, social structure as abasic) yang dikembangkan oleh Bonislaw Mallllinowski (1884-1942) dan Radclife-Brown yang kemudians dari dua pendekatan itu Edward Burnett Tylor (1832-1917 secara luas mendefinisikan budaya sebagai :”…culture or civilization, taken in its wide ethnographic ense, is that complex whole wich includes knowledge,belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a memmmber of society atau Budaya juga dapat diartikan sebagai : “Seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya melalui proses belajar(Koentjaraningrat, 2001: 72 ) sesuai dengan kekhasan etnik, profesi dan kedaerahan”(Danim, 2003:148).
Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita lebih memahami budaya dari sudut sosiologi dan ilmu budaya, padahal ternyata ilmu budaya bisa mempengaruhi terhadap perkembangan ilmu lainnya seperti ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Sehingga ada beberapa istilah lain dari istilah budaya seperti budaya organisasi (organization culture) atau budaya kerja (work culture) ataupun biasa lebih dikenal lebih spesifik lagi dengan istilah budaya perusahaan (corporate culture). Sedangkan dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah kultur pembelajaran sekolah (school learning culture) atau Kultur akademis (Academic culture)
Dalam dunia pendidikan mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah Kultur akademis yang pada intinya mengatur para pendidik agar mereka memahami bagaimana seharusnya bersikap terhadap profesinya, beradaptasi terhadap rekan kerja dan lingkungan kerjanya serta berlaku reaktif terhadap kebijakan pimpinannya, sehingga terbentuklah sebuah sistem nilai, kebiasaan (habits), citra akademis, ethos kerja yang terinternalisasikan dalam kehidupannya sehingga mendorong adanya apresiasi dirinya terhadap peningkatan prestasi kerja baik terbentuk oleh lingkungan organisasi itu sendiri maupun dikuatkan secara organisatoris oleh pimpinan akademis yang mengeluarkan sebuah kebijakan yang diterima ketika seseorang masuk organisasi tersebut.
Fungsi pimpinan sebagai pembentuk Kultur akademis diungkapkan oleh Peter, Dobin dan Johnson (1996) bahwa :
Para pimpinan sekolah khususnya dalam kapasitasnya menjalankan fungsinya sangat berperan penting dalam dua hal yaitu : a). Mengkonsepsitualisasikan visi dan perubahan dan b). Memiliki pengetahuan, keterampilan dan pemahaman untuk mengtransformasikan visi menjadi etos dan kultur akademis kedalam aksi riil (Danim, Ibid., P.74).
Pola pembiasaan dalam sebuah budaya sebagai sebuah nilai yang diakuinya bisa membentuk sebuah pola prilaku dalam hal ini Ferdinand Tonnies membagi kebiasaan kedalam beberapa pengertian antara lain :
o       Kebiasaan sebagai suatu kenyataan objektif sehari-hari yang merupakan sebuah kelajiman baik dalam sikap maupun dalam penampilan sehari-hari.
o       Kebiasaan sebagai Kaidah yang diciptakan dirinya sendiri yaitu kebiasaan yang lahir dari diri pendidik itu sendiri yang kemudian menjadi ciri khas yang membedakan dengan yang lainnya.
o       Kebiasaan sebagai perwujudan kemauan untuk berbuat sesuatu yaitu kebiasaan yang lahir dari motivasi dan inisatif yang mencerminkan adanya prestasi pribadi.
·         Budaya dan kepribadian
Oleh karena budaya secara individu itu berkorelasi dengan kepribadian, sehingga budaya berhubungan dengan pola prilaku seseorang ketika berhadapan dengan sebuah masalah hidup dan sikap terhadap pekerjaanya. Didalamnya ada sikap reaktif seorang pendidik terhadap perubahan kebijakan pemerintah dalam otonomi kampus sebagaimana yang terjadi, dimana dengan adanya komersialisasi kampus bisakah berpengaruh terhadap perubahan kultur akademis penididik dalam sehari-harinya.
Dilihat dari unsur perbedaan budaya juga menyangkut ciri khas yang membedakan antara individu yang satu dengan individu yang lain ataupun yang membedakaan antara profesi yang satu dengan profesi yang lain. Seperti perbedaan budaya seorang dokter dengan seorang dosen, seorang akuntan dengan seorang spesialis, seorang professional dengan seorang amatiran.
Ciri khas ini bisa diambil dari hasil internalisasi individu dalam organisasi ataupun juga sebagai hasil adopsi dari organisasi yang mempengaruhi pencitraan sehingga dianggap sebagai kultur sendiri yang ternyata pengertiannya masih relatif dan bersifat abstrak. Kita lihat pengertian budaya yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto mendefinisikan budaya sebagai : “Sebuah system nilai yang dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi abstrak tentang baik dan buruk. atau secara institusi nilai yang dianut oleh suatu organisasi yang diadopsi dari organisasi lain baik melalui reinventing maupun re-organizing”(Ibid, Soerjono Soekanto, P. 174)
Budaya juga tercipta karena adanya adopsi dari organisasi lainnya baik nilai, jargon, visi dan misi maupun pola hidup dan citra organisasi yang dimanefestasikan oleh anggotanya. Seorang pendidik sebagai pelaku organisasi jelas berperan sangat penting dalam pencitraan kampus jauh lebih cepat karena secara langsung berhadapan dengan mahasiswa yang bertindak sebagai promotor pencitraan di masyarakat sementara nilai pencitraan sebuah organisasi diambil melalui adanya pembaharuan maupun pola reduksi langsung dari organisasi sejenis yang berpengaruh dalam dunia pendidikan.
Sebuah nilai budaya yang merupakan sebuah sistem bisa menjadi sebuah asumsi dasar sebuah organisasi untuk bergerak didalam meningkatkan sebuah kinerjanya yang salah satunya terbentuknya budaya yang kuat yang bisa mempengaruhi. McKenna dan Beech berpendapat bahwa : „Budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi organisasi dalam hal efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang tepat untuk membiasakan mereka terhadap kejadian-kejadian, karena etos yang berlaku mengakomodasikan ketahanan“( McKenna, etal, Terj. Toto Budi Santoso , 2002: 19)
Sedang menurut Talizuduhu Ndraha mengungkapkan bahwa “Budaya kuat juga bisa dimaknakan sebagai budaya yang dipegang secara intensif, secara luas dianut dan semakin jelas disosialisasikan dan diwariskan dan berpengaruh terhadap lingkungan dan prilaku manusia”( Ndraha, 2003:123).
Budaya yang kuat akan mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya dalam hal ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap sistem prilaku para pendidik dan staf dibawahnya baik didalam organisasi maupun diluar organisasi.
Sekali lagi kalau Budaya hanya sebuah asumsi penting yang terkadang jarang diungkapkan secara resmi tetapi sudah teradopsi dari masukan internal anggota organisasi lainnya. Vijay Sathe mendefinisikan budaya sebagai “The sets of important assumption (opten unstated) that member of a community share in common” ( Sathe, 1985: 18) Begitu juga budaya sebagai sebuah asumsi dasar dalam pembentukan karakter individu baik dalam beradaptasi keluar maupun berintegrasi kedalam organisasi lebih luas diungkapkan oleh Edgar H. Schein bahwa budaya bisa didefinisikan sebagai :
A pattern of share basic assumption that the group learner as it solved its problems of external adaptation anda internal integration, that has worked well enough to be considered valid and therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to these problems”.
( Schein
, 1992:16)
Secara lengkap Budaya bisa merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari asumsi dasar sebuah organiasasi yang kemudian diinternalisasikan oleh anggotanya. Seorang professional yang berkarakter dan kuat kulturnya akan meningkatkan kinerjanya dalam organisasi dan secara sekaligus meningkatkan citra dirinya.
·         Organisasi dan budaya
Membahas budaya, jelas tidak bisa lepas dari pengertian organisasi itu sendiri dan dapat kita lihat beberapa pendapat tentang organisasi yang salah satunya diungkapkan Stephen P. Robbins yang mendefinisikan organisasi sebagai “…A consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary that function or relatively continous basis to achieve a common goal or set of goal”. ( Robbins, 1990: 4) Sedangkan Waren B. Brown dan Dennis J. Moberg mendefinisikan organisasi sebagai “…. A relatively permanent social entities characterized by goal oriented behavior, specialization and structure”(Brown,etal,1980:6) Begitu juga pendapat dari Chester I. Bernard dari kutipan Etzioni dimana organisasi diartikan sebagai “Cooperation of two or more persons, a system of conciously coordinated personell activities or forces”( Etzioni, 1961:14.)
Sehingga organisasi diatas pada dasarnya apabila dilihat dari bentuknya, organisasi merupakan sebuah masukan (input) dan luaran (output) serta bisa juga dilihat sebagai living organism yang memiliki tubuh dan kepribadian, sehingga terkadang sebuah organisasi bisa dalam kondisi sakit (when an organization gets sick). Sehingga organisasi dianggap Sebagai suatu output (luaran) memiliki sebuah struktur (aspek anatomic), pola kehidupan (aspek fisiologis) dan system budaya (aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya.
Dari pengertian Organisasi sebagai output (luaran) inilah melahirkan istilah budaya organisasi atau budaya kerja ataupun lebih dikenal didunia pendidikan sebagai budaya akademis. Untuk lebih menyesuaikan dengan spesifikasi penelitian penulis mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah budaya akademis.
Menurut Umar Nimran mendefinisikan budaya organisasi sebagai “Suatu sistem makna yang dimiliki bersama oleh suatu organisasi yang membedakannya dengan organisasi lain”(Umar Nimran, 1996: 11)
Sedangkan Griffin dan Ebbert (Ibid, 1996:11) dari kutipan Umar Nimran Budaya organisasi atau bisa diartikan sebagai “Pengalaman, sejarah, keyakinan dan norma-norma bersama yang menjadi ciri perusahaan/organisasi” Sementara Taliziduhu Ndraha Mengartikan Budaya organisasi sebagai “Potret atau rekaman hasil proses budaya yang berlangsung dalam suatu organisasi atau perusahaan pada saat ini”( op.cit , Ndraha, P. 102) Lebih luas lagi definisi yang diungkapkan oleh Piti Sithi-Amnuai (1989) dalam bukunya “How to built a corporate culture” mengartikan budaya organisasi sebagai :
A set of basic assumption and beliefs that are shared by members of an organization, being developed as they learn to cope with problems of external adaptation and internal integration.( Pithi Amnuai dari kutipan Ndraha, p.102)
(Seperangkat asumsi dan keyakinan dasar yang dterima anggota dari sebuah organisasi yang dikembangkan melalui proses belajar dari masalah penyesuaian dari luar dan integarasi dari dalam)
Hal yang sama diungkapkan oleh Edgar H. Schein (1992) dalam bukunya “Organizational Culture and Leadershif” mangartikan budaya organisasi lebih luas sebagai :
“ …A patern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to these problems.( loc.cit, Schein, P.16)
(“… Suatu pola sumsi dasar yang ditemukan, digali dan dikembangkan oleh sekelompok orang sebagai pengalaman memecahkan permasalahan, penyesuaian terhadap faktor ekstern maupun integrasi intern yang berjalan dengan penuh makna, sehingga perlu untuk diajarkan kepada para anggota baru agar mereka mempunyai persepsi, pemikiran maupun perasaan yang tepat dalam mengahdapi problema organisasi tersebut).
Sedangkan menurut Moorhead dan Griffin (1992) budaya organisasi diartikan sebagai :
Seperangkat nilai yang diterima selalu benar, yang membantu seseorang dalam organisasi untuk memahami tindakan-tindakan mana yang dapat diterima dan tindakan mana yang tidak dapat diterima dan nilai-nilai tersebut dikomunikasikan melalui cerita dan cara-cara simbolis lainnya(McKenna,etal, op.cit P.63).
Amnuai (1989) membatasi pengertian budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota sebuah organisasi dari hasil proses belajar adaptasi terhadap permasalahan ekternal dan integrasi permasalahan internal.
Organisasi memiliki kultur melalui proses belajar, pewarisan, hasil adaptasi dan pembuktian terhadap nilai yang dianut atau diistilahkan Schein (1992) dengan considered valid yaitu nilai yang terbukti manfaatnya. selain itu juga bisa melalui sikap kepemimpinan sebagai teaching by example atau menurut Amnuai (1989) sebagai “through the leader him or herself” yaitu pendirian, sikap dan prilaku nyata bukan sekedar ucapan, pesona ataupun kharisma.
·         Hal-hal yang mempengaruhi budaya organisasi
Menurut Piti Sithi-Amnuai bahwa : “being developed as they learn to cope with problems of external adaptation anda internal integration (Pembentukan budaya organisasi terjadi tatkala anggota organisasi belajar menghadapi masalah, baik masalah-masalah yang menyangkut perubahan eksternal maupun masalah internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organisasi).( Opcit Ndraha, P.76).
Pembentukan budaya akademisi dalam organisasi diawali oleh para pendiri (founder) institusi melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
o       Seseorang mempunyai gagasan untuk mendirikan organisasi.
o       Ia menggali dan mengarahkan sumber-sumber baik orang yang sepaham dan setujuan dengan dia (SDM), biaya dan teknologi.
o       Mereka meletakan dasar organisasi berupa susunan organisasi dan tata kerja.
Menurut Vijay Sathe dengan melihat asumsi dasar yang diterapkan dalam suatu organisasi yang membagi “Sharing Assumption”( loc.cit Vijay Sathe, p. 18) Sharing berarti berbagi nilai yang sama atau nilai yang sama dianut oleh sebanyak mungkin warga organisasi. Asumsi nilai yang berlaku sama ini dianggap sebagai faktor-faktor yang membentuk budaya organisasi yang dapat dibagi menjadi :
o       Share thing, misalnya pakaian seragam seperti pakaian Korpri untuk PNS, batik PGRI yang menjadi ciri khas organisasi tersebut.
o       Share saying, misalnya ungkapan-ungkapan bersayap, ungkapan slogan, pemeo seprti didunia pendidikan terdapat istilah Tut wuri handayani, Baldatun thoyibatun wa robbun ghoffur diperguruan muhammadiyah.
o       Share doing, misalnya pertemuan, kerja bakti, kegiatan sosial sebagai bentuk aktifitas rutin yang menjadi ciri khas suatu organisasi seperti istilah mapalus di Sulawesi, nguopin di Bali.
o       Share feeling, turut bela sungkawa, aniversary, ucapan selamat, acara wisuda mahasiswa dan lain sebagainya.

Sedangkan menurut pendapat dari Dr. Bennet Silalahi bahwa budaya organisasi harus diarahkan pada penciptaan nilai (Values) yang pada intinya faktor yang terkandung dalam budaya organisasi.( Silalahi,2004:8) harus mencakup faktor-faktor antara lain : Keyakinan, Nilai, Norma, Gaya, Kredo dan Keyakinan terhadap kemampuan pekerja
Untuk mewujudkan tertanamnya budaya organisasi tersebut harus didahului oleh adanya integrasi atau kesatuan pandangan barulah pendekatan manajerial (Bennet, loc.cit, p.43)
bisa dilaksanakan antara lain berupa :
o       Menciptakan bahasa yang sama dan warna konsep yang muncul.
o       Menentukan batas-batas antar kelompok.
o       Distribusi wewenang dan status.
o       Mengembangkan syariat, tharekat dan ma’rifat yang mendukung norma kebersamaan.
o       Menentukan imbalan dan ganjaran
o       Menjelaskan perbedaan agama dan ideologi.

Selain share assumption dari Sathe, faktor value dan integrasi dari Bennet ada beberapa faktor pembentuk budaya organisasi lainnya dari hasil penelitian David Drennan selama sepuluh tahun telah ditemukan dua belas faktor pembentuk budaya organisasi /perusahaan/budaya kerja/budaya akdemis ( Republika, 27 Juli 1994:8) yaitu :
o       Pengaruh dari pimpinan /pihak yayasan yang dominan
o       Sejarah dan tradisi organisasi yang cukup lama.
o       Teknologi, produksi dan jasa
o       Industri dan kompetisinya/ persaingan.
o       Pelanggan/stakehoulder akademis
o       Harapan perusahaan/organisasi
o       Sistem informasi dan kontrol
o       Peraturan dan lingkungan perusahaan
o       Prosedur dan kebijakan
o       Sistem imbalan dan pengukuran
o       Organisasi dan sumber daya
o       Tujuan, nilai dan motto.

·         Budaya dengan profesionalisme
Dalam perkembangan berikutnya dapat kita lihat ada keterkaitan antara budaya dengan disain organisasi sesuai dengan design culture yang akan diterapkan. Untuk memahami disain organisasi tersebut, Harrison ( McKenna, etal, 2002: 65) membagi empat tipe budaya organisasi :
o       Budaya kekuasaan (Power culture).
Budaya ini lebih mempokuskan sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasaan yang lebih banyak dalam cara memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuhkan dengan syarat mengikuti esepsi dan keinginan anggota suatu organisasi.
Seorang karyawan butuh adanya peraturan dan pemimpin yang tegas dan benar dalam menetapkan seluruh perintah dan kebijakannya. Kerena hal ini menyangkut kepercayaan dan sikap mental tegas untuk memajukan institusi organisasi. Kelajiman yang masih menganut manajemen keluarga, peranan pemilik institusi begitu dominan dalam pengendalian sebuah kebijakan terkadang melupakan nilai profesionalisme yang justru hal inilah salah satu penyebab jatuh dan mundurnya organisasi.
o       Budaya peran (Role culture).
Budaya ini ada kaitannya dengan prosedur birokratis, seperti peraturan organisasi dan peran/jabatan/posisi spesifik yang jelas karena diyakini bahwa hal ini akan mengastabilkan sistem. Keyakinan dan asumsi dasar tentang kejelasan status/posisi/peranan yang jelas inilah akan mendorong terbentuknya budaya positif yang jelas akan membantu mengstabilkan suatu organisasi. Hampir semua orang menginginkan suatu peranan dan status yang jelas dalam organisasi.
o       Budaya pendukung (Support culture)
Budaya dimana didalamnya ada kelompok atau komunitas yang mendukung seseorang yang mengusahakan terjadinya integrasi dan seperangkat nilai bersama dalam organisasi tersebut. Selain budaya peran dalam menginternalisasikan suatu budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan kredo dan keyakinan anggota dibawah. Budaya pendukung telah ditentukan oleh pihak pimpinan ketika organisasi/institusi tersebut didirikan oleh pendirinya yang dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselaran antara struktur, strategi dan budaya itu sendiri. Dan suatu waktu bisa terjadi adanya perubahan dengan menanamkan budaya untuk belajar terus menerus (longlife education)
o       Budaya prestasi (Achievement culture)
Budaya yang didasarkan pada dorongan individu dalam organisasi dalam suasana yang mendorong eksepsi diri dan usaha keras untuk adanya independensi dan tekananya ada pada keberhasilan dan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku dikalangan akademisi tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian serta dengan pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekankan terciptanya tenaga akademisi yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya.
·         Karakteristik budaya organisasi.
Untuk menentukan indikator secara pasti mengenai budaya organisasi jauh lebih sulit tetapi penulis mengambil dari beberapa pendapat para ahli mengenai indikator yang menentukan budaya organisasi.
Khun Chin Sophonpanich memasukan budaya pribadi ke dalam Bank Bangkok 50 tahun yang lalu dengan beberapa indikator antara lain :
o       Ketekunan (dilligency),
o       Ketulusan (sincerity),
o       Kesabaran (patience) dan
o       Kewirausahaan (entrepreneurship).
Sedangkan Amnuai dan Schien membagi budaya organisasi kedalam beberapa indikator yaitu antara lain
o       Aspek kualitatif (basic)
o       Aspek kuantitatif (shared) dan aspek terbentuknya
o       Aspek komponen (assumption dan beliefs),
o       Aspek adaptasi eksternal (eksternal adaptation)
o       Aspek Integrasi internal (internal integration) sebagai proses penyatuan budaya melalui asimilasi dari budaya organisasi yang masuk dan berpengaruh terhadap karakter anggota.
Selangkah lebih maju tinjauan dari Dr.Bennet Silalahi yang melihat budaya kerja dapat dilihat dari sudut teologi dan deontology (Silalahi, 2004:25-32) seperti pandangan filsafat Konfutse, etika Kristen dan prinsip agama Islam. Kita tidak memungkiri pengaruh tiga agama ini dalam percaturan peradaban dunia timur bahkan manajemen barat sudah mulai memperhitungkannya sebagai manajemen alternatif yang didifusikan ke manajemen barat setelah melihat kekuatan ekonomi Negara kuning seperti Cina, Jepang dan Korea sangat kuat. Perimbangan kekuatan ras kuning Asia yang diwakili Jepang, Korea dan Cina tentu saja tidak bisa melupakan potensi kekuatan ekonomi negara-negara Islam yang dari jumlah penduduknya cukup menjanjikan untuk menjadi pangsa pasar mereka.
Tinjauan ajaran Islam membagi budaya kerja kedalam beberapa indikator antara lain :
o       Adanya kerja keras dan kerjasama (QS. Al-Insyiqoq : 6, Al-Mulk : 15, An-Naba : 11 dan At-taubah : 105))
o       Dalam setiap pekerjaan harus unggul/professional/menjadi khalifah (An-Nahl : 93. Az-Zumar : 9, Al-An’am : 165)
o       Harus mendayagunakan hikmah ilahi (Al-Baqoroh : 13)
o       Harus jujur, tidak saling menipu, harus bekerjasama saling menguntungkan.
o       Kelemah lembutan.
o       Kebersihan
o       Tidak mengotak-kotakan diri/ukhuwah
o       Menentang permusuhan.
Sedangkan menurut ajaran konghucu budaya kerja ditinjau dari budaya Ren yang terdiri dari lima sifat mulia manusia antara lain :
o       Ren (hubungan industrial supaya mengutamakan keterbatasan, kebutuhan dan kualitas hidup manusia)
o       Yi (tipu muslihat, timbangan yang tidak benar, kualitas barang dan jasa supaya disngkirkan atau dibenarkan agar tidak merugikan para stakehoulder)
o       Li (Instruksi kerja, penilaian unjuk kerja, peranan manajemen harus dilandaskan pada kesopanan dan kesantunan)
o       Zhi (kearifan dan kebijaksanaan dituntut dalam perencanaan, pengambilan keputusan dan ketatalaksanaan kerja, khususnya dalam perencanaan strategi dan kebijakan)
o                   Xing (setiap manajer dan karyawan harus saling dapat dipercaya)

Lebih jelas lagi diungkapkan oleh Desmond graves (1986:126) mencatat sepuluh item research tool (dimensi kriteria, indikator) budaya organisasi yaitu :
o       Jaminan diri (Self assurance)
o       Ketegasan dalam bersikap (Decisiveness)
o       Kemampuan dalam pengawasan (Supervisory ability)
o       Kecerdasan emosi (Intelegence)
o       Inisatif (Initiative)
o       Kebutuhan akan pencapaian prestasi (Need for achievement)
o       Kebutuhan akan aktualisasi diri (Need for self actualization)
o       Kebutuhan akan jabatan/posisi (Need for power)
o       Kebutuhan akan penghargaan (Need for reward)
o       Kebutuhan akan rasa aman (Need for security).
Sumber : blog.poltek-malang.ac.id/.../20090526-10.%20BUDAYA%20ORGANISASI.doc